(Penulis: Daeng Mangka, Praktisi Akademisi/ Pemerhati Sosial)
Opini Publik/ Rubrik/Artikel/_
Malino, yang selama ini dikenal sebagai “negeri di atas awan”, kini mulai kehilangan identitas ekologisnya. udara sejuk yang menjadi ciri khas kawasan ini perlahan menghilang—berganti dengan hawa gerah yang tak biasa. Ini bukan sekadar perubahan cuaca musiman, melainkan tanda nyata dari krisis iklim mikro yang sedang melanda dataran tinggi Sulawesi Selatan, terkhusus di Wilayah Kabupaten Gowa.
Krisis ini tidak datang tiba-tiba. dia merupakan buah dari akumulasi kebijakan pembangunan yang mengabaikan prinsip dasar daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam satu dekade terakhir, Malino mengalami lonjakan pembangunan vila dan destinasi wisata swadaya secara tak terkendali. Kawasan hutan pinus—yang dulu menjadi penyangga suhu lokal dan ruang resapan air—kini berubah menjadi kavling properti eksklusif.
Salah satu simbol paradoks ini adalah event tahunan Beautiful Malino, seperti juga yang puncaknya hari ini, Di balik kemeriahan konser, parade bunga, dan euforia wisata, tersimpan jejak ekologis yang belum pernah ditangani secara serius:
Tumpukan sampah pasca acara,
Polusi suara yang mengganggu satwa dan warga,
Tekanan luar biasa terhadap kawasan hulu, yang sebenarnya merupakan penentu kelangsungan ekosistem hilir.
Alih-alih menjadi etalase keindahan alam, Malino kini menjadi panggung eksploitasi ruang atas nama pariwisata.
Fenomena menjamurnya vila-vila di kawasan lindung bukan hanya soal estetika ruang—melainkan menyentuh fondasi keberlanjutan ekologis. Banyak bangunan berdiri tanpa kajian zonasi tata ruang, tanpa mempertimbangkan fungsi ekologis lahan, tanpa menghitung dampak jangka panjang terhadap kualitas air, suhu udara, dan potensi bencana. Ini bukan pembangunan yang visioner, melainkan eksploitasi ruang yang dibungkus narasi “investasi”.
Sebagai akademisi yang berpijak pada ilmu geografi dan lingkungan, saya menegaskan: kita tidak anti pariwisata. Kita bukan musuh pembangunan. Justru sebaliknya—kami percaya bahwa pariwisata bisa menjadi alat konservasi, jika dikelola dengan bijak dan berbasis data spasial serta kapasitas lingkungan.
Namun, jika pembangunan terus dilakukan tanpa evaluasi menyeluruh, maka kita hanya tinggal menunggu waktu. Malino akan kehilangan bukan hanya pesonanya, tapi juga fungsinya sebagai kawasan penyangga ekologis bagi Sulawesi Selatan, terkhusu Kabupaten Gowa
Saatnya Kita Bertanya,
Apakah kita rela hutan-hutan kita dikorbankan demi kolam renang?
Apakah kita akan diam saat kawasan resapan air berubah menjadi katalog properti elite?
Apakah ini yang disebut pembangunan? Ataukah ini pengkhianatan terhadap alam?
Malino dulunya negeri di atas awan, kini perlahan berubah menjadi kota penuh beton. Udara sejuknya menghilang. Pepohonan ditebang. Hutan disulap jadi vila. Kita tidak sedang membangun keindahan—kita sedang menyusun bom waktu ekologis!.
Di balik gemerlap konser dan festival bunga, daerah tangkapan air dibiarkan gundul. Sungai-sungai kehilangan mata airnya. Tapi kita pura-pura tidak tahu.
Kita butuh perubahan paradigma,
dari eksploitasi menuju konservasi. Dari logika jangka pendek menuju visi keberlanjutan jangka panjang.
Karena udara sejuk dan hutan yang lestari bukanlah warisan, melainkan titipan yang harus kita jaga bersama.
Hari ini, kita tidak sedang berdiri di atas tanah yang indah dan tenang. Kita berdiri di atas tanah yang mulai panas, sesak, dan rusak—karena keserakahan dan pembiaran yang terlalu lama dibiarkan.
((Team Solider Group))